Sanitary Landfill

                Sanitary Landfill (SL) adalah sebuah sistem pengolahan sampah yang berkesinambungan dengan menggunakan metode Supply Ruang Penampungan Sampah Padat. RSL diyakini bisa mengontrol emisi liquid, atau air rembesan sampai sehingga tidak mencemari air tanah.

                Sanitary Landfill  berfilosofi konservasi. Bertujuan merehabilitasi lahan, bukannya merusak. Jika operasi-rawatnya tepat, sesuai dengan rancangannya, metode ini lebih ramah lingkungan. Relatif aman bagi kesehatan. Hanya saja, perlu disiplin tinggi. Pejabat otoritas sampah dan pekerjanya harus taat pada aturan operasi-rawat. Karena potensi bahaya seperti akumulasi gas dan lindi tetap ada, mereka pun wajib terus memantaunya ketika sanfil sudah tidak digunakan lagi. Kalau tidak, hasilnya takkan lebih baik daripada open dump. Bahkan cenderung lebih rugi secara finansial lantaran mahal biayanya. Buang-buang uang; sia-sia.

                Sistem ini mampu mengontrol emisi gas metan, karbondioksida atau gas berbahaya lainnya akibat proses pemadatan sampah. RSL juga bisa mengontrol populasi lalat di sekitar TPA. Sehingga mencegah penebaran bibit penyakit.
 
                Cara kerjanya, di RSL, sampah ditumpuk dalam satu lahan. Lahan tempat sampah tersebut sebelumnya digali dan tanah liatnya dipadatkan. Lahan ini desbut ground liner. Usai tanah liat dipadatkan, tanah kemudian dilapisi dengan geo membran, lapisan mirip plastik berwarna yang dengan ketebalan 2,5 milimeter yang terbuat dari High Density Polyitilin, salah satu senyawa minyak bumi. Lapisan ini lah yang nantinya akan menahan air lindi (air kotor yang berbau yang berasal dari sampah), sehingga tidak akan meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Di atas lapisan geo membran dilapisi lagi geo textile yang gunanya memfilter kotoran sehingga tidak bercampur dengan air lindi. Secara berkala air lindi ini dikeringkan.

                Analogi yang nyaris sempurna untuk metode ini ialah kue lapis. Sanfil yang sudah penuh, artinya semua lahannya sudah diisi sampah sampai batas ketinggian yang direncanakan, serupa dengan kue lapis dalam satu nampan. Fisik sanfil berlapis-lapis. Lapisan terbawah kue lapis mirip dengan lapisan terbawah atau lapisan pertama sanfil. Begitu pun lapisan kedua, serupa dengan lapisan kedua kue lapis. Demikian seterusnya sampai lapisan teratas (terakhir).
 
                Dalam praktiknya di lapangan, lapisan pertama sanfil tentu tidak selesai dalam satu dua hari. Berbeda dengan pembuatan kue lapis yang bisa selesai hanya dalam hitungan jam. Untuk menyelesaikan satu lajur (satu lapis terdiri atas banyak lajur, mirip kue lapis yang diiris melintang dan membujur) dengan tinggi 2 ? 3 m, dan lebar 3 m, bisa berhari-hari lamanya. Panjang sel sampah ini bergantung pada volume sampah yang ditangani per hari. Setiap hari, setelah sampah dipadatkan di sel-selnya memakai alat berat (kompaktor), bagian atasnya ditutupi tanah liat/lempung yang kedap air. Dengan tebal 15 ? 30 cm, tanah penutup ini mencegah lalat, nyamuk dan tikus mengacak-acak sel sampah. Setiap sel atau lajur dibuat dengan kemiringan (slope) maksimum 45 derajat agar bisa dilewati bulldozer dan shovel. Air hujan yang meresap dan bau busuk pun bisa dikurangi.
 

                Sebelum dipadatkan, sampah yang menumpuk diatas lapisan geo textille ini kemudian ditutup dengan menggunakan lapisan geo membran untuk mencegah menyebarnya gas metan akibat proses pembusukan sampah (yang dipadatkan) tanpa oksigen. Geo membran ini juga akan menyerap panas dan membantu proses pembusukan. Radiasinya akan dipastikan dapat membunuh lalat dan telur-telurnya di sekitar sampah. Sementara hasil pembusukan samapah dalam bentuk kompos bisa dijual.
 
                Gas metan ini juga yang pada akhirnya digunakan untuk memanaskan air hujan yang sebelumnya ditampung untuk mencuci truk-truk pengangkut sampah. Jika truk sampah yang bentuknya tertutup dicuci setiap kali habis mengangkut sampah, tidak akan menebarkan bau ke lokasi TPA.
               
                Fungsi lain tanah penutup ialah melindungi pekerja dari penyakit akibat bakteri patogen. Mereka wajib mengenakan alat pengaman seperti sarung tangan, sepatu boot dan pakaian khusus yang harus rutin dicuci. Kemudian, yang terpenting, panas hasil dekomposisi zat organik bisa ditahan di dalam sampah dan ikut membasmi larva lalat dan bakteri patogen. Seterusnya, sel per sel, lajur demi lajur, lapis per lapis diselesaikan dari waktu ke waktu selama bertahun-tahun. Makin luas lahannya, makin lamalah masa-hidup sanfil tersebut.
 
                Pada lapis terakhir, tebal tanah penutup 50 cm agar sedapat mungkin infiltrasi air hujan tak terjadi. Jika terjadi juga, lindi yang terbentuk potensial mencemari air tanah dan air permukaan. Kadar polutannya jauh melebihi air limbah rumah tangga. Secara umum, menurut Flintoff dalam Management of Solid Wastes in Developing Countries, buku yang dipublikasikan atas prakarsa organisasi kesehatan dunia, WHO, kisaran angka BOD-nya 6.000 - 7.000 mg/l, atau 20 ? 30 kali BOD air limbah domestik. Dalam sejumlah kasus ada yang mencapai 30.000 mg/l Selain zat organik, lindi juga kaya nitrogen, klorida, sulfat, dan logam-logam berat.


Aspek Sanfil

                Minimal ada empat aspek penting yang mesti dikaji dalam pembuatan sanfil. Pertama, seleksi lokasi. Pascalongsor Leuwigajah, pemkot Bandung bingung mencari TPA. Kecuali penolakan warga dan pemkab Bandung, juga lantaran lahannya sulit didapat atau harganya mahal termasuk yang di Citatah. Atau karena jaraknya jauh, topografi dan kondisi tanahnya tak mendukung, serta alasan lingkungan setempat yang juga tak mendukung.

                Kedua, metode sanfil. Ini berkaitan dengan bentuk lahan. Agar efektivitas pemakaian lahannya tinggi, maka rencana operasi harus dibuat. Ada tiga metode yang bisa digunakan, yaitu area, trench, dan depression. Metode area diterapkan apabila lahannya agak landai atau datar dan tidak bisa dibuatkan parit. Setelah sisinya ditanggul dengan tanah, barulah sampah dipadatkan sampai selesai lajur per lajur. Metode trench (parit) dibuat di lahan yang muka air tanahnya cukup dalam dan tersedia tanah penutup. Lebih disukai kalau ada bukit yang tanahnya bisa dipangkas untuk tanah penutup. Parit dibuat dengan menggali sampai tanah kedap air. Selanjutnya, apabila lokasi sanfil berupa cekungan, legok atau jurang, metode depression atau lembah baik dipakai. Sampah diratakan, dipadatkan lalu ditutupi tanah liat. Sekian puluh tahun kemudian, lembah itu berubah menjadi lahan yang bisa dihuni atau untuk fasilitas lainnya seperti taman dan sabuk hijau.

                Ketiga, produksi gas dan lindi. Kecuali gas yang dominan, yaitu 60% metana (CH4) dan 35% karbondioksida, ada juga gas lain, yaitu H2S yang berbau busuk seperti di kawah Tangkubanparahu, amoniak (NH3), karbonmonoksida (CO) dll. Gas CO2 bisa melarutkan formasi batu kapur di tanah; metana, gas yang nyalanya seperti spiritus ini, bisa meledak jika terkonsentrasi. Adapun lindi berasal dari internal hasil dekomposisi dan eksternal dari hujan, air tanah, dan limpahan drainase. Inilah masalah ikutan dari penanganan sampah. Sampah selesai, muncullah air sampah yang tak kalah menimbulkan masalah lingkungan.

                Keempat, aliran gas dan lindi. Gas bisa dibiarkan lepas ke udara atau ditampung untuk dimanfaatkan energinya. Biogas ini, kalau dieksploitasi dengan hati-hati dan tepat teknologinya, lumayan untuk menerangi kawasan kantor sanfil. Lindi mengalir ke bawah dan terkumpul di dasar sanfil. Bisa dibiarkan di dalam sanfil atau diolah di instalasi pengolahan air limbah sebelum dibuang.

                Demikianlah, “kue lapis” sanfil bisa lebih bersahabat ketimbang open dump. Empat aspek di atas, pencarian, pemilahan, pemilihan, penetapan, dan operasi-rawat sanfil bisa meminimalkan risikonya. Namun, dalam tataran desain, masih ada parameter lain yang mesti dievaluasi agar diperoleh hasil yang memuaskan dari sisi teknologi dan investasi.*

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar